KULONPROGO– Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates menjamin pengadaan alat kesehatan[1] pada akhir tahun 2012 sesuai prosedur.
Pernyataan ini menjawab pertanyaan Jogja Corruption Watch (JCW) yang meminta Kejaksaan Tinggi[2] DIY untuk memeriksa RSUD Wates terkait alat kesehatan.
Dirut RSUD Wates Lies Indriyati mengatakan, Kejati tidak perlu repot-repot memeriksa pengadaan alat kesehatan 2012 di rumah sakit yang dipimpinnya. Sebab, seluruh proses pengadaan dilakukan sesuai prosedur yang berlaku. Ini diperkuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)[3] Badan Pemeriksa Keuangan.
“LHP BPK menyebut semuanya sudah normatif. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan BPK secara rigid, tidak ada penyalahgunaan dalam pengadaan alat kesehatan tersebut. Kami juga tidak berani mengada-ada,” kata Lies kemarin.
Dia mengakui, rentang waktu untuk proses pengadaan alat kesehatan dengan dana APBN[4] ini cukup pendek. Namun dia memastikan prosesnya aman karena dilakukan melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP)[5] Pemkab[6]. Seluruh barang juga sudah digunakan sejak awal 2013 ini.
Dia menjelaskan, bantuan dana untuk pengadaan Alkes 2012, terbagi dalam dua tahap. Yakni dana Tugas Pembantuan (TP)[7] mencapai Rp5 miliar dan Tugas Pembantuan Perubahan (TPP) sebesar Rp7 miliar. Hanya saja, dari total dana yang diberikan, ternyata tidak seluruhnya digunakan. Untuk TP misalnya, hanya digunakan sekitar Rp4,6 miliar, dan TPP hanya Rp6,3 miliar. “Persisnya saya lupa. Tapi kisarannya di angka tersebut. Sisanya kita kembalikan ke negara karena kita memang hanya menggunakan sesuai kebutuhan saja,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Divisi Investigasi JCW Maryanto Rodzali mendesak Kejati tidak hanya mengusut pengadaan Alkes di RS Jogja. Berdasarkan penelusuran JCW pada APBNP 2012, anggaran dekonsentrasi[8] yang mengucur ke daerah tidak hanya diterima RS Jogja. Melainkan juga di RSUD Wates.
Bahkan dana yang diterima RS ini jauh lebih besar. “Dari sisi waktu pengadaan Alkes sangat pendek, tiga bulan sejak dikucurkan pusat. Proses pengadaan berjalan September-Desember. Rawan penyimpangan karena waktu sangat sedikit,” katanya. (sodik)
Sumber: Seputar Indonesia, 8 Juli 2013
Catatan:
Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, anggaran dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Gubernur sebgai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tersebut, dalam pengelolaan dana Kepala SKPD Provinsi selaku Kuasa Pengguna anggaran/barang dekonsentrasi bertanggung jawab atas pelaksanaan dana dekonsentrasi. Kepala SKPD Provinsi juga wajib menyelenggarakan akuntansi dan bertanggung jawab terhadap penyusunan dan penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan dan barang. Penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan tugas pembantuan dan desentralisasi. Penatausahaan keuangan dan barang diselenggarakan oleh SKPD Provinsi sesuai peraturan perundang-undangan.
Diatur lebih lanjut dalam Pasal 30 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008, pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan sasaran tindak lanjut. Sedangkan aspek akuntabilitas meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang.
[1] Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
[2] Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi (Kejati) adalah kantor kejaksaan yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
[3] Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) adalah produk dari BPK yang merupakan hasil akhir dari Hasil Pemeriksaan.
[4] Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
[5] Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, Unit Layanan Pengadaan (ULP) adalah unit organisasi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.
[6] Pemerintah Kabupaten.
[7] Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, dana Tugas Pembantuan (TP) adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.
[8] Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, anggaran dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.