Entah kebetulan atau tidak, menjelang Pemilu 2014 banyak bantuan sosial (Bansos) dianggarkan melalui APBD 2013 dan RAPBD 2014. Kebijakan populis ini lahir atas nama kebutuhan rakyat. Sebagai Bansos, tentu tidak ada yang salah jika eksekutif[1] dan legislatif[2] beramai-ramai menggelembungkan anggaran sosial dan hibah[3]. Yang menggelitik barangkali anggaran tersebut selalu naik ketika tahun politik datang. Pertanyaannya, “ada udang di balik batukah” kebijakan menaikkan anggaran Bansos dan hibah ini?
Ketua Divisi Investigasi Masyarakat Transparansi Bantul (MTB), Irwan Suryono mengatakan, sudah menjadi rahasia umum jika dana hibah Bansos yang dialokasikan oleh APBD seringkali digunakan oleh calon anggota legislatif (Caleg) ataupun partai politik untuk menarik simpati masyarakat demi kepentingan mendulang suara pada saat Pemilu. Dengan alibi membantu masyarakat, mereka tidak malu mengumpulkan proposal[4] permohonan bantuan dari masyarakat.
Para Caleg ataupun petinggi Parpol menyuruh masyarakat membuat proposal, nanti yang bersangkutan akan mengantarkannya serta mengawal proposal tersebut agar bisa cair.
Tentu, dengan janji-janji manis proposal tersebut akan dicairkan, Caleg yang notabene[5] calon incumbent akan mengumpulkan proposal dari daerah pemilihan (Dapil)-nya berasal.
Di Bantul, tren dana hibah Bansos naik sangat mencolok terjadi di Pemilu yang lalu. Tahun 2008, dana hibah di kabupaten ini hanya mencapai Rp11,190 miliar sementara Bansos Rp68,2 miliar. Namun tahun 2009, melonjak bahkan hampir dua kali lipat di mana hibah mencapai Rp29,7 miliar dan Bansos Rp59,1 miliar.
“Jika dilihat, dulu yang menang adalah partai penguasa. Mereka dapat menggunakan ‘kekuasaannya’ untuk mengarahkan hibah Bansos,” ujarnya.
Sementara itu Pengamat Pemerintahan Purwo Santoso mengungkapkan, kebijakan memberikan Bansos dan hibah muncul sebagai respon masyarakat yang pragmatis[6]. “Warga butuh ikan, lalu dikasih ikan. Itu tidak mendidik. Harusnya dikasih alat untuk menangkap ikan,” katanya.
Parahnya, memberi ‘ikan’ itu kemudian dirumuskan seolah-olah sesuai aturan, teradministrasi. Lalu memunculkan regulasi[7] atau kebijakan[8], mulai dari Permendagri, Pergub, Perbup dan lainnya. “Bansos itu penyimpangan yang dilegitimasi[9] oleh undang-undang,” tegasnya.
Kondisi ini tidak menguntungkan bagi warga. Legislatif mendapat keuntungan berlipat dari kebijakan ini. “Rakyat menagih janji saat wakil rakyat berkampanye, lalu legislatif mewujudkannya dengan mengakses anggaran dari uang rakyat,” ungkapnya.
Dosen UGM ini tidak menampik, kebijakan ini lahir karena pragmatisme warga. Seharusnya ini tidak terjadi, jika partai politik berperan dalam melakukan pendidikan politik kepada warga. “Dalam benak masyarakat kita, anggota legislatif itu sinterklas, bagi-bagi duit,” ungkapnya.
Di sisi lain, wakil rakyat justru melanggengkan alam pikir warga yang pragmatis itu. Fenomena[10] ini tidak serta merta terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. “Di negara miskin pun, perilaku politik warga tidak akan seperti itu jika partai politik mampu menjalankan perannya, melakukan pendidikan politi. Partai politik di Indonesia bekerja hanya menjelang Pemilu. Bekerjanya juga salah, hanya bagi-bagi rejeki itu tadi,” paparnya.
Pertanyaannya, apakah Bansos ini bagian dari kebijakan yang menyimpang. Dari segi kebijakan dan administrasi, tidak ada persoalan. Kebijakan ini dilindungi undang-undang.
Tapi berbeda misalnya, ada penyimpangan yang dilakukan oleh oknum[11].
Kepala BPK Perwakilan DIY Sunarto menyebutkan, selama kegiatan tersebut sudah dianggarkan dalam APBD maka tidak ada masalah. Tetapi dengan catatan, peruntukannya harus sesuai nomenklatur[12] dan bisa dipertanggungjawabkan. erfanto linangkung/ridwan anshori
Sumber: Seputar Indonesia, 24 November 2013
Catatan:
Ketentuan mengenai hibah dan bantuan sosial (Bansos) diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012.
Pengertian hibah dan Bansos berdasarkan peraturan tersebut adalah sebagai berikut.
Pasal 1 angka 14:
Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.
Pasal 1 angka 15:
Bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
[1] Eksekutif adalah berkenaan dengan pengurusan (pengelolaan, pemerintahan) atau penyelenggaraan sesuatu. (KBBI)
[2] Legislatif adalah dewan yang berwenang membuat undang-undang. (KBBI)
[3] Hibah adalah pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain. (KBBI)
[4] Proposal adalah rencana yang dituangkan dalam bentuk rancangan kerja. (KBBI)
[5] Notabene adalah catatan tambahan. (KBBI)
[6] Pragmatis adalah bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis. (KBBI)
[7] Regulasi adalah pengaturan. (KBBI)
[8] Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb.) (KBBI)
[9] Dilegitimasi adalah disahkan. (KBBI)
[10] Fenomena adalah: 1) hal-hal yang dapat disaksikan dengan panca indra dan diterangkan serta dinilai secara ilmiah; gejala; 2) sesuatu yang luar biasa; keajaiban; atau 3) fakta, kenyataan. (KBBI)
[11] Oknum adalah: 1) orang seorang, perseorangan; atau 2) orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik). (KBBI)
[12] Nomenklatur adalah penamaan yang dipakai dalam bidang atau ilmu tertentu. (KBBI)