SLEMAN, TRIBUN – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak mampu menyelesaikan semua Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terjadi di berbagai daerah. Apalagi, kini KPK hanya memiliki 50 orang penyidik[1], sementara laporan Tipikor mencapai ribuan jumlahnya.
“Potensi jumlah penyidik hanya 50 sehingga kita sadar betul, KPK tidak akan bisa menangani Tipikor di Sabang sampai Merauke,” kata Ketua KPK Abraham Samad, saat menggelar jumpa pers seusai membuka acara pelatihan bersama peningkatan kapasitas penegak hukum, di Hotel Quality, Yogya, Senin (17/6/2013) pagi.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong terciptanya kerjasama dan koordinasi[2] yang lebih optimal dengan pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Langkah itu, diwujudkan KPK dengan menggelar kegiatan pelatihan bersama yang bertajuk Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Acara yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penegak hukum dalam penyelesaian Tipikor ini, diikuti oleh penyidik Tipikor di jajaran Polda[3] DIY, Kejaksaan Tinggi DIY, dan auditor[4] BPKP Perwakilan DIY.
Samad menambahkan, pelatihan bersama tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi berbagai kendala dalam penanganan Tipikor dan pengembalian kerugian keuangan negara[5], khususnya yang terjadi di DIY. Selain itu, supaya para penegak hukum mampu mengimbangi tingginya harapan masyarrakat terhadap berbagai penuntasan masalah Tipikor. (mon)
Sumber: Tribun Jogja, 18 Juni 2013
Catatan:
Upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) di Indonesia dilakukan dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain dibentuk undang-undang tersebut, dibentuk pula sebuah badan khusus yang disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Lembaga tersebut diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan lembaga KPK merupakan pelaksanaan amanat Pasal 43 Undang-Undang TPK tersebut.
[1] Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
[2] Perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur (KBBI).
[3] Kepolisian Daerah.
[4] Pengaudit (KBBI).
[5] Pengertian kerugian keuangan negara berdasarkan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.