Korupsi Dana Desa
Korupsi dana desa tidak hanya terjadi di Gunungkidul, tetapi juga di Sleman. Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman menargetkan penetapan tersangka korupsi dana desa Banyurejo, Kecamatan Tempel bulan ini.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Sleman Yulianto mengatakan hasil penghitungan jumlah kerugian negara dari kasus korupsi dana desa di Banyurejo sudah dikeluarkan Inspektorat Sleman. Saat ini Kejari Sleman masih menunggu penghitungan kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Akan Ada…
Setelah BPKP mengeluarkan hasil penghitungan kerugian negara, Kejari Sleman akan langsung menetapkan tersangka.
“Targetnya bulan ini sudah ada tersangka,”kata Yuli.
Dana desa di Banyurejo diduga diselewengkan dari 2015 sampai 2017. Kejari Sleman memperkirakan jumlah kerugian negara akibat korupsi itu mencapai Rp800 juta. Jumlah kerugian diperkirakan akan lebih besar setelah ada hasil laporan dari BPKP.
“Kami sudah memeriksa 15 saksi, warga dan perangkat desa,” ujar Yuli.
Kepala Seksi Keuangan Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Sleman Agung Endarto mengatakan dana desa dicairkan dalam tiga termin. Pemerintah desa harus membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan dana desa termin pertama sebelum mencairkan dana desa termin berikutnya. Penyerapan dana desa juga minimal 75%.
“Ini merupakan bentuk pengawasan. Secara umum serapan dana desa sudah 80%, apabila serapan dana desa kurang, maka serapan dana desa tahap III belum bisa cair,” kata Agung.
Secepatnya Tuntas
Sementara itu, Polres Gunungkidul ingin menuntaskan pengusutan penggelapan dana desa oleh Sawiya, Bendahara Desa Beji, Kecamatan Ngawen, tahun ini.
Kanit Tipikor Polres Gunungkidul, Ipda Wawan Anggoro mengatakan penyidik tinggal menunggu saksi ahli pidana untuk menjelaskan unsur pidana yang dilakukan tersangka.
Sawiya sudah menjadi tersangka korupsi karena menggelapkan dana desa Rp400 juta. Jumlah itu nyaris separuh dana desa Beji tahun lalu.
Penyidikan atas dugaan penggelapan dana desa ini bermula dari terhentinya pembangunan di 14 dusun di Desa Beji pada 2017. Musababnya, dana desa senilai hampir Rp400 juta yang dibawa Sawiya raib. Sebelumnya Sawiya ditugaskan Pemerintah Desa Beji untuk mengambil uang tersebut di bank. Dia mengaku uang itu hilang setelah ia makan sate. Pemerintah Desa Beji kemudian membuat surat perjanjian yang mewajibkan Sawija mengembalikan uang atau dilaporkan ke polisi. Namun, dia tak mampu mengembalikannya. Sawija baru diangkat sebagai bendahara desa pada pertengahan 2017.
Harian Jogja telah mencoba mengkonfirmasi Sawija dengan mendatangi rumahnya di Dusun Sidorejo, Desa Beji, Kecamatan Ngawen. Namun dia menghindar dan tidak memberikan pernyataan apa pun.
Wawan Anggoro mengatakan belum ada laporan penyelewengan dana desa selain kasus penggelapan di Desa Beji. Korupsi di tingkat desa di Gunungkidul sejauh ini adalah belanja fiktif dalam program padat karya di Desa Banjarejo oleh kepala desa dan tiga perangkat desa setempat pada 2016. Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp100 juta. Empat orang yang mengorupsi program padat karya itu sudah divonis dan kasusnya sudah inkrah.
Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Gunungkidul Subiyantoro mengatakan pemerintah telah berupaya mengawasi penggunaan dana desa dari tahap perencanaan hingga pengelolaan.
Menurut dia, pada 2017 lalu kucuran dana desa untuk Gunungkidul sebanyak Rp132 miliar. Kemudian pada 2018 sebanyak RP117 miliar.
Sebanyak 70% dana desa dialokasikan untuk infrastruktur dan 30% sisanya untuk pemberdayaan.
Tak Terbukti
Di Bantul, muncul laporan penyelewengan dana desa, tetapi tidak terbukti. Camat Dlingo Jati Bayu Broto mengatakan sempat ada dugaan korupsi dana desa di Desa Terong, Dlingo. Namun, Kejari Bantul tidak menemukan indikasi penyalahgunaan anggaran.
“Sempat ada pemeriksaan di Terong, tapi sekarang sudah tidak ada masalah lagi. Cuma masalah administrasi saja, dan kasus ini diserahkan ke Inspektorat Bantul. Oleh Inspektorat sudah ada tindakan,” kata dia.
Saat pemeriksaan berlangsung, Pemerintah Desa Terong sempat takut untuk mencairkan dana.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bantul AKP Rudy Prabowo mengatakan polisi belum pernah menangani kasus dugaan penyelewengan dana desa di Bantul. Dia mengharapkan aparatur desa berhati-hati dalam menggunakan dana desa.
Polres Kulonprogo dan Kejari Kulonprogo belum menerima laporan penyalahgunaan dana desa. Kepala Seksi Intelejensi Kejari Kulonprogo Yogi Andiawan Sagita mengatakan instansinya belum pernah menerima berkas terkait dugaan korupsi dana desa. Kapolres Kulonprogo AKBP Anggara Nasution pun menyatakan belum mendapatkan laporan apapun terkait dengan dugaan penyalahgunaan dana desa.
Dana desa mulai dikucurkan pada 2015 lalu dan tahun ini jumlahnya mencapai Rp60 triliun. Tiap desa menerima rata-rata Rp800 juta. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), meningkatnya jumlah dana desa dibarengi dengan banyaknya kasus korupsi di desa.
Menurut ICS, ada tiga faktor yang menjadi penyebab maraknya korupsi di tingkat desa. Pertama, minimnya pelibatan dan pemahaman warga akan proses pembangunan desa. Warga yang memiliki kemampuan cukup untuk memahami proses pembangunan, termasuk pemahaman akan anggaran desa, hak dan kewajiban sebagai warga di desa, dan lainnya masih sedikit.
Kedua, minimnya fungsi pengawasan di desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) belum sepenuhnya optimal dalam menjalankan pengawasan anggaran di desa. Ketiga, terbatasnya akses warga terhadap informasi, seperti anggaran desa.
Korupsi di desa tak selalu disebabkan kehendak kepala desa atau perangkat desa, tetapi juga terjadi karena ketidaksiapan mereka mengelola uang dalam jumlah besar.
Selengkapnya: Tautan