Ketua DPD Nasdem Tersangka Korupsi
GUNUNGKIDUL – Kejaksaan Negeri (Kejari) Wonosari menetapkan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Nasional Demokrat Gunungkidul, Suyanto, sebagai tersangka[1] dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi[2] dana desa senilai Rp500 juta.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Sigit Kristianto mengungkapkan Suyanto diduga menyelewengkan anggaran Desa Serut, Kecamatan Gendangsari saat menjabat sebagai kepala desa. Dalam kasus itu, Kejari sudah memeriksa 20 saksi[3] sejak kasus tersebut dimulai penyelidikan[4] pada September lalu.
“Kejari sudah memeriksa Suyanto dua kali. Jadi tersangka sejak sepekan lalu,” ucapnya, Rabu (20/11). Kejari kembali menjadwalkan pemanggilan Suyanto sebagai tersangka pada pekan depan.
Modus[5] penyelewengan dana, kata Sigit, dalam pembangunan desa mestinya ada pertanggungjawaban karena menggunakan anggaran desa maupun dari pihak ketiga. Namun, Kejari tidak menemukan adanya surat pertanggungjawaban dari Suyanto saat menjadi kepala desa.
Sigit belum bisa menjelaskan berapa item kegiatan desa yang menjadi penyimpangan dengan alasan belum melakukan penahanan terhadap tersangka. Untuk menghitung kerugian negara dalam penyimpangan anggaran desa itu, Kejari mengandalkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Kerugiannya sampai Rp500 juta tapi untuk lebih akurat dan meyakinkan, tunggu audit BPK,” tegasnya.
Suyanto mengatakan sejak ditetapkan menjadi tersangka, dia belum pernah dikonfrontir dengan saksi-saksi. Padahal, semua dana termasuk pembangunan balai desa bisa dipertanggungjawabkan. “Semua ada bukti-bukti,” tegasnya.
Suyanto menyebut kasus yang menjeratnya merupakan upaya pembunuhan karakter menjelang Pemilu 2014, sebab Ketua DPD Nasdem Gunungkidul, dia mencalonkan diri menjadi calon legislator[6].
“Ini tahun politik,” ujar Suyanto. Dia mengaku sudah menyiapkan bantuan hukum dari partainya untuk menyelesaikan kasus yang menjerat. Ujang Hasanudin, hasanudin@harianjogja.com
Sumber: Harian Jogja, 21 November 2013
Catatan:
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Tugas BPK berdasarkan Pasal 6 ayat (1) undang-undang tersebut adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) undang-undang tersebut, BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
[1] Berdasarkan Pasal 1 angka 14. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
[2] Hal-hal mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
[3] Berdasarkan Pasal 1 angka 26. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
[4] Berdasarkan Pasal 1 angka 5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
[5] Modus adalah cara (KBBI)
[6] Legislator adalah pembuat undang-undang (KBBI)