Perlu Revisi UU

BPK Lemah Berantas Korupsi

YOGYA (KR) – Profesionalitas[1] dan independensi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pengawasan keuangan negara saat ini dinilai sangat lemah. Hal itu menyebabkan maraknya kasus korupsi dan penyelewengan dalam penggunaan APBN, APBD, dan keuangan negara yang lain.

Manajer Program Kemitraan, Natalia Hera mengatakan, untuk mengembalikan peran BPK yang lebih bebas dan mandiri dalam pemberantasan korupsi[2], perlu dilakukan reformasi Undang- Undang 15 Tahun 2006 tentang BPK.

“Perlu harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU yang lahir di atas tahun 2006,” katanya dalam Workshop ‘Konsultasi Publik untuk Menyusun Rekomendasi Kebijakan oleh CSO untuk Revisi UU BPK’ di Grand Zuri Hotel Yogyakarta, Kamis (3/10). Workshop dihadiri berbagai kalangan masyarakat, akademisi, pemerintah daerah, instansi pemerintah, serta media.

Workshop ini, kata Hera, bertujuan untuk menjaring input dan masukan berupa policy brief dari organisasi masyarakat sipil di berbagai wilayah di Indonesia di antaranya Makassar, Medan, Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta. Policy brief kemudian akan disampaikan ke DPR RI dan DPD RI. Diharapkan policy brief tentang revisi UU BPK menjadi bahan rujukan dalam menganalisis naskah akademik maupun rancangan revisi UU BPK yang akan ditetapkan. “Masukan masyarakat sangat diperlukan untuk mempertajam kualitas policy brief ini,” katanya.

Penasihat Penyusunan Rekomendasi Kebijakan sekaligus Konsultan MSI, Prof Dr Suwardjono MSc mengatakan, mulai dari perekrutan anggota, lembaga tinggi pemerintah ini sudah menunjukkan kelemahannya. Ia menilai anggota BPK yang menjabat saat ini banyak dari orang partai sehingga kebijakan sarat akan muatan politik. Selain itu, metodologi rekrutmen yang dilakukan DPR dan DPD tidak transparan, tidak ada penjelasan serta tidak didukung kelengkapan informasi.

“Ini berakibat fatal bagi kelangsungan BPK, jika orang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan lolos menjadi anggota BPK,” katanya.

Seharusnya, kata Suwardjono, perlu dibentuk panitia seleksi yang independen terdiri perwakilan DPD, DPR, pemerintah, akademisi, dan masyarakat yang akan menyeleksi calon anggota BPK. Dalam proses perekrutan juga harus dilakukan dalam beberapa tahapan termasuk seleksi kompetensi, kepribadian, dan seleksi rekam jejak. “Terakhir dilakukan fit and proper test oleh DPR sebagai pengejawantahan wakil rakyat,” katanya.

Sumber: Kedaulatan Rakyat, 04 Oktober 2013

 

Catatan:

Dasar hukum Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia adalah Pasal 23E Undang-Undang Dasar 1945. Pada ayat (1) pasal tersebut dinyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

Pasal tersebut merupakan dasar dibentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Salah satu hal yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah mengenai keanggotaan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK mempunyai 9 (Sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. Dalam ayat (2) dan ayat (3) pasal tersebut dijelaskan bahwa susunan BPK terdiri atas Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak anggota BPK terpilih diajukan oleh DPR.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. BPK memberitahukan kepada DPR dengan tembusan Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota BPK paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.

Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) undang-undang tersebut, anggota BPK dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan pertimbangan DPD.



[1] Profesionalitas adalah a. perihal profesi; atau b. keprofesian; atau c. kemampuan untuk bertindak secara professional. (KBBI)

[2] Berdasarkan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun  2001,  korupsi merupakan perbuatan yang melanggar hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.