Kejati Kebut Kasus Trans Jogja

YOGYAKARTA – Kejaksaan Tinggi (Kejati)[1] DIY kebut penanganan kasus dugaan korupsi Biaya Operasional Kendaraan (BOK) Bus Trans Jogja.

Setelah hasil audit[2] Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya indikasi[3] kerugian keuangan negara[4], penyidik[5] langsung menahan mantan Direktur Utama PT Jogja Tugu Trans (JTT) Purwanto Johan Riyadi.

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, sesuai hasil audit BPK ditemukan adanya indikasi penyimpangan BOK pada 2008 yang menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 413 juta lebih. Setelah pemeriksaan sejumlah saksi[6] dan disertai alat bukti yang cukup, penyidik Kejati mulai menahan Purwanto pada Kamis (4/7) malam kemarin dan dititipkan di Rumah Tahanan Wirogunan.

“Setelah cukup alat bukti, kami langsung ambil tindakan dan menahan tersangka[7] P, Kamis (4/7). Tapi ada perbedaan dalam audit, penyidik menemukan indikasi kerugian negara Rp 1 miliar lebih,” kara Kepala Kejati DIY Suyadi saat jumpa pers dengan sejumlah wartawan di kantor Kejati, kemarin siang.

Menurut Suyadi, penahanan[8] terhadap Purwanto berdasarkan berbagai pertimbangan. Selain adanya alat bukti yang cukup untuk menjerat Purwanto, penyidik juga mempunyai pertimbangan bahwa tersangka bisa mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti, dan melarikan diri. “Penyidik mempunyai pertimbangan-pertimbangan untuk menahan tersangka,” ucapnya.

Selain mantan Direktur Utama PT JTT, Kejati DIY juga menetapkan status tersangka terhadap mantan Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) DIY Mulyadi Hadikusumo. Meskipun demikian, penyidik belum menahan Mulyadi karena yang bersangkutan sedang sakit. “Betul ada satu tersangka lagi, mantan Kadinas Kominfo. Tapi beliau sakit sehingga belum kami periksa,” ungkap Suyadi.

Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati DIY Purwanta menambahkan, penyidik akan kembali memanggil dan memeriksa Mulyadi jika kondisi kesehatannya sudah membaik. Namun apakah Mulyadi akan segera ditahan menyusul tersangka lainnya, Purwanta belum bisa memastikan hal itu.

“Kemarin sudah dipanggil untuk diperiksa, tapi tidak datang karena sakit. Tentunya jika sudah sehat akan segera diperiksa. Untuk penahanan, semua tergantung penyidik karena mereka yang berwenang,” kata Purwanta.

Untuk diketahui, dugaan penyimpangan dana BOK Bus Trans-Jogja terjadi pada 2008-2009 lalu. Hasil audit investigasi[9] BPK menemukan adanya indikasi kerugian keuangan negara dalam APBD[10] DIY yang dialokasikan untuk BOK sebesar Rp 11 miliar.

Penyidik Kejati DIY juga turut melakukan pengusutan[11] terhadap kasus ini. Hasilnya, penyidik menemukan adanya indikasi penyimpangan dana BOK yang menyebabkan kerugian keuangan negara Rp 1 miliar lebih. Setelah memeriksa sejumlah saksi, penyidik menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yakni mantan Direktur Utama PT JTT Purwanto Johan Riyadi dan mantan Kepala Dishubkominfo DIY Mulyadi Hadikusumo.

Penasihat hukum Purwanto, Achiel Suyanto membenarkan kliennya ditahan dalam perkara dugaan penyelewengan dana BOK Trans Jogja. “Mengapa yang ditahan hanya Purwanto saja? Sementara Mulyadi juga sudah menjadi tersangka,” kata Achiel.

Menurut Achiel, Mulyadi terakhir diperiksa oleh jaksa sekitar dua pekan lalu, namun PNS di Kementerian Perhubungan tersebut tidak langsung ditahan. Atas kondisi tersebut, Achiel menuding ada diskriminasi penanganan perkara.

“Kejati diskriminatif. Kenapa Mulyadi tidak ditahan? Padahal mereka sama-sama tersangka,” ucapnya. Achiel juga menanyakan soal adanya perbedaan kerugian negara dari audit BPK dan perhitungan jaksa.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejati DIY Dadang Darusalam menjelaskan, Mulyadi Hadikusumo mengajukan surat keterangan sakit kepada jaksa. Saat ini Mulyadi sedang menjalani perawatan dokter di Jakarta. ristu hanafi maha devi

Sumber: Seputar Indonesia, 6 Juli 2013

Catatan:

Berdasarkan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan pasal tersebut menegaskan bahwa semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan.

Tujuan Penahanan disebutkan dalam Pasal 20 KUHAP sebagai berikut:

  1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Mengenai ukuran kepentingan penyidikan pada dasarnya ditentukan oleh kenyataan keperluan pemeriksaan penyidikan itu sendiri secara objektif. Tergantung kepada kebutuhan tingkat upaya penyidik untuk menyelesaikan fungsi pemeriksaan penyidikan yang tuntas dan sempurna sehingga penyidikan benar-benar mencapai hasil pemeriksaan yang akan diteruskan kepada penuntut umum, untuk dipergunakan sebagai dasar pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Berarti jika pemeriksaan penyidikan sudah cukup, penahanan tidak diperlukan lagi, kecuali ada alasan untuk tetap menahan tersangka (Pasal 20 ayat (1)).
  2. Penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum, bertujuan untuk kepentingan penuntutan (Pasal 20 ayat (2)).
  3. Demikian juga penahanan yang dilakukan oleh peradilan, dimaksud untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim berwenang melakukan penahanan dengan penetapan yang didasarkan kepada perlu tidaknya penahanan dilakukan sesuai dengan kepentingan pemeriksaan di sidang peradilan (Pasal 20 ayat (3)).

Dalam Pasal 21 ayat (1) dinyatakan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Terdapat beberapa jenis penahanan yang diatur dalam Pasal 22 KUHAP, yaitu:

  1. Penahanan rumah tahanan negara;
  2. Penahanan rumah; dan

Penahanan kota.



[1] Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi adalah kantor kejaksaan yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

[2] Audit adalah hasil pemeriksaan pembukuan tentang keuangan (perusahaan, bank, dsb) secara berkala. (KBBI).

[3] Indikasi adalah tanda-tanda yang menarik perhatian, petunjuk. (KBBI).

[4] Berdasarkan penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

[5] Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

[6] Berdasarkan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

[7] Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

[8] Berdasarkan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

[9] Investigasi adalah penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta melakukan peninjauan, percobaan, dsb, dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan (tentang peristiwa, sifat atau khasiat suatu zat, dsb); penyidikan. (KBBI).

[10] APBD adalah singkatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

[11] Pengusutan adalah usaha mencari bahan-bahan bukti apabila timbul dugaan seseorang melakukan tindak pidana. (KBBI).