Audit BPK

ASET Rp10 Miliar Belum Optimal

Jogja – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan DIY mencatat manajemen aset[1] Pemerintah Kota Jogja belum maksimal.

            Dua aset dari Pemkot belum dioptimalkan dan masih mangkrak yakni Rumah Potong Hewan (RPH)[2] Ngampilan, Jogja dan Asphalt Mixing Plan (AMP).

            Kepala Sub Auditorat BPK Perwakilan DIY Nugroho Heru Wibowo mengungkapkan ada beberapa poin yang harus dilakukan Pemkot untuk memaksimalkan peran kedua aset tersebut. “RPH tersebut sudah tidak dipergunakan lagi, tetapi  dibiarkan  dan tidak dimanfaatkan untuk yang lainnya,” katanya, usai penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan[3] BPK Perwakilan DIY atas manajemen aset Pemkot, Selasa (26/11).

            Menurut dia, setelah tidak dipergunakan sebagai tempat pemotongan babi, RPH yang terletak di tengah perkampungan itu bisa dioptimalkan untuk pemotongan hewan lain. Akan tetapi, karena dibiarkan mangkrak, maka RPH yang berada di bawah Disperindagkoptan[4] itu justru membawa kerugian bagi Pemkot. Besaran kerugian di tempat tersebut ditaksir kurang dari Rp10 miliar.

            “Selain RPH juga ada AMP yang tidak bisa dimaksimalkan. Selama ini hanya dibiarkan saja, padahal pengelolaannya ada di Kimpraswil[5],” tandasnya.

            Dia menyarankan Pemkot bisa memaksimalkan RPH yang telah mangkrak dua tahun itu sebagai tempat pemotongan sapi. Selain tidak akan banyak menimbulkan permasalahan dengan lingkungan, tempat itu dinilai masih representatif untuk kegiatan tersebut. “Jika tidak ini akan berpengaruh pada opini[6] hasil audit BPK,” jelasnya.

            Selain permasalahan dua aset tersebut, Kepala BPK Perwakilan DIY Sunarto menambahkan ada beberapa aset dengan nilai kecil tetapi tidak dilaporkan. Padahal, jumlah dari aset tersebut cukup banyak. Aset tersebut adalah barang bantuan dari Pemda DIY maupun pemerintah pusat.

            “Nilai mencapai Rp3,6 miliar. Itu berupa barang bantuan, seperti kursi rusak tidak dilaporkan. Padahal seharusnya dilaporkan. Begitu juga jika ingin menggantinya,” terang dia.

            Dia berharap Pemkot segera membuat action plan untuk langkah-langkah perbaikan, sehingga persoalan seperti ini tidak terus terjadi. Khusus untuk hilangnya barang-barang tersebut, BPKP berharap Pemkot menelusuri dan mencatat untuk penggantian barang.

            “Kami merekomendasikan ke Pemkot agar menelusuri barang-barang tersebut,” jelasnya.

            Walikota Jogja Imam Priyono yang menerima hasil laporan mengaku akan menidaklanjuti rekomendasi dari BPK Perwakilan DIY. Untuk barang hilang, pihaknya akan melakukan penelusuran pencatatan. “Untuk RPH nanti kami maksimalkan untuk tempat penyembelihan sapi, setelah mempertimbangkan kondisi dan lingkungan setempat,” ucapnya. (Jumali, jumali@harianjogja.com).

Sumber : Harian Jogja, 27 November 2013

 

Catatan :

Berdasarakan Pasal 2 Peraturan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, pengelolaan barang milik daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, dan keterbukaan, efektif, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai.

Ruang lingkup pengelolaan barang milik daerah berdasarkan Pasal 3 peraturan tersebut meliputi:

  1. perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
  2. pengadaan;
  3. penerimaan, dan penyaluran;
  4. penggunaan;
  5. penatausahaan;
  6. pemanfaatan;
  7. pengamanan dan pemeliharaan;
  8. penilaian;
  9. penghapusan;
  10. pemindatangan;
  11. pembinaan, pengendalian, dan pengawasan;
  12. pembiayan; dan
  13. tuntutan ganti rugi.

Pengelolaan barang milik daerah berdasarkan Pasal 4 dimaksudkan untuk :

  1. mengamankan barang milik daerah;
  2. menyeragamkan sistem dan prosedur dalam pengelolaan barang milik daerah;
  3. memberikan jaminan kepastian hukum dalam pengelolaan barang milik daerah; dan
  4. mengoptimalkan pemanfaatan barang milik daerah.


[1] Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kerjasama Daerah, Aset merupakan sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh baik oleh pemerintah maupun masyarakat serta dapat diukur dalam satuan uang termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya

[2] Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 22 Tahun 2009 tentang Retribusi Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Hewan Potong yang selanjutnya disingkat RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas.

[3] Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, hasil pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan Standar Pemeriksaan, yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai keputusan BPK.

[4] Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian.

[5] Permukiman dan Prasarana Wilayah.

[6] Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria (i) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, (ii) kecukupan  pengungkapan (adequate  disclosures), (iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (iv) efektivitas sistem pengendalian intern. Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni (i) opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), (ii) opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (iii) opini tidak wajar (adversed opinion), dan (iv) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).