Aset Senilai Rp10,2 Miliar Bermasalah

aset

Ilustrasi: http://liveolive.com

BANTUL – Pemkab Bantul menelusuri asal-usul aset[1] daerah senilai Rp10,2 miliar karena mendapat sorotan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait aset tersebut. Aset-aset tersebut sampai saat ini masih belum jelas asal-usul dan administrasinya. Sekretaris Daerah (Sekda) Bantul Riyantono mengakui, persoalan aset masih menjadi momok untuk segera diselesaikan. Tahun lalu, aset senilai Rp35 miliar masih menjadi catatan merah dari BPK. Tahun ini, masih ada aset senilai Rp10,2 miliar yang harus segera diselesaikan persoalan administrasinya. “Ada sebesar Rp10,2 miliar dari total aset sebesar Rp3,2 triliun yang ditelusuri, terkait modal barangnya, kapan tahun pembeliannya, kemudian asal-usul nya.

Kami sudah menyelesaikan sekitar Rp25 miliar, tahun ini targetnya memang sudah tidak ada persoalan lagi terkait aset,” kata sekda saat penandatanganan pakta integritas semua satuan kerja perangkat dinas (SKPD), kemarin. Menurut dia, aset daerah yang ditelusuri asal-usulnya tersebut hampir terdapat di seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) baik kantor, badan dan dinas sampai dengan saat ini, dan belum termasuk aset daerah yang dikelola 2015. “Nilai yang paling besar ada di Dinas Pekerjaan Umum (DPU), karena mungkin misalnya ada gedung yang belum ternilai asetnya, sementara yang sedikit ada di Kantor Perpustakaan, namun unitnya cukup banyak, misalnya satu paket buku,” katanya. Toni mengakui, aset senilai Rp35 miliar memang belum tertata dengan baik dan amburadul.

Aset-aset tersebut nilainya masih gelondongan dan belum terperinci satu sama lain, terlebih perihal dokumen dan asal-usul, namun BPK masih memberi toleransi. Namun, tahun ini jika masih bermasalah, maka Bantul tidak akan bisa mendapatkan predikat WTP[2] lagi. Toni mengungkapkan, aset yang bermasalah tersebut biasanya tidak ada nomor rekening atau nomor kode barang, tidak ada tahun perolehan, tidak diketahui asal-usul barang apakah dari jual beli atau hibah, dan tidak ada harga satuan.  Padahal dalam ketentuannya harus dicantumkan semuanya agar aset di Bantul benar-benar sah. “Total aset di Bantul itu ada Rp3,129 triliun. Akan tetapi masih ada Rp10,2 miliar yang belum jelas, dan ini targetnya harus diselesaikan dalam sebulan,” urainya. Beberapa SKPD kesulitan melakukan penertiban administrasi aset-aset tersebut dan paling banyak ada Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas).

Dengan nilai aset Rp22,9 miliar, Dikdas harus segera menyelesaikan persoalan administrasi aset tersebut. Hanya saja, karena lembaga ini menaungi ratusan sekolah dengan ribuan aset mulai dari buku hingga gedung, maka memang memerlukan waktu yang lama. Berbeda dengan Dinas Peker jaan Umum (DPU) yang memiliki aset terbesar Rp1,4 triliun, justru penyelesaiannya bisa lebih mudah.

 

Karena meskipun nilainya paling besar, tetapi unitnya tidak begitu banyak sehingga pencatatan persyaratan administrasinya bisa cepat selesai. Dia meminta kepada semua SKPD apapun kasusnya harus segera menyelesaikan persoalan aset tersebut. “Bupati memberi waktu dua pekan. Dua pekan itu khusus untuk Dikdas, sementara untuk SKPD lain harus selesai secepatnya,” katanya.

Bupati Bantul Sri Suryawidati mengaku jika BPK sudah memberi lampu merah, Bantul tidak akan dapat merebut predikat WTP lagi. Terutama, jika pemkab tidak mampu menyelesaikan persoalan aset tersebut. Selama ini, dia mengakui jika aset-aset yang ada di Bantul sifatnya gelondongan dan belum diperinci. Sehingga, untuk menekan angka permasalahan aset tersebut, pihaknya mendesak semua kepala SKPD menandatangani fakta integritas kesanggupan mereka.  “Dulu terakhir itu Dikdas, pak Totok (Kepala Dikdas) sampai tidak tidur tiga malam hanya untuk menyelesaikan itu. Akan tetapi sekarang masih ada waktu, jadi semua SKPD harus mematuhi kesanggupannya tersebut,” tandas Ida, sapaannya. (Erfanto linangkung)

Sumber Berita:

  1. Harian Seputar Indonesia, 10 Maret 2015 Halaman 12
  2. http://www.koran-sindo.com/read/974480/151

 

Catatan Berita:

Pengelolaan aset tetap daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D). Adapun pokok-pokok pengelolaan BMN/D tersebut adalah sebagai berikut:

  • Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai (Pasal 3 ayat (1).
  • Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah meliputi:
  1. Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;
  2. pengadaan;
  3. Penggunaan;
  4. Pemanfaatan;
  5. pengamanan dan pemeliharaan;
  6. Penilaian;
  7. Pemindahtanganan;
  8. Pemusnahan;
  9. Penghapusan;
  10. Penatausahaan; dan
  11. pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
  • Pengelola Barang, Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib melakukan pengamanan Barang Milik Negara/Daerah yang berada dalam penguasaannya (Pasal 42 ayat (1)).
  • Pengamanan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum (Pasal 42 ayat (2)).
  • Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan (Pasal 43 ayat (1)).
  • Barang Milik Negara/Daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan (Pasal 43 ayat (2)).
  • Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pengguna Barang (Pasal 43 ayat (3)).
  • Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Daerah yang bersangkutan (Pasal 43 ayat (4)).

[1] Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan menyebutkan bahwa Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.

[2] Berdasarkan Buletin Teknis (Bultek) 01 tentang Pelaporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah paragraf 13, Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Download di sini