Kejati Sita Lahan UGM Seluas 3 Hektare

YOGYAKARTA – Dugaan[1] penyimpangan dan alih fungsi lahan[2] Universitas Gadjah Mada (UGM) oleh Yayasan Fapertagama[3] semakin meluas. Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY kembali menyita lahan berupa areal pertanahan seluas hampir tiga hektare di wilayah Wonocatur, Banguntapan, Bantul.”Lahan itu aset milik UGM, tapi diklaim milik Yayasan Fapertagama dan disalahgunakan[4] peruntukannya,” kata Azwar, Asisten Pidana Khusus Kejati DIY, Jumat (26/9/2014).Temuan tersebut semakin memperkuat sangkaan penyidik[5] adanya tindak pidana korupsi dalam kasus yang menyeret empat dosen aktif Fakultas Pertanian UGM yakni Susamto, Triyanto, Ken Suratiyah, dan Toekidjo sebagai tersangka[6]. Lahan di Wonocatur yang disita itu luas tepatnya 29.875 meter persegi. Temuan penyidik, lahan yang merupakan laboratorium pertanian itu dikuasai secara sepihak[7] oleh Yayasan Fapertagama yang beranggotakan dosen-dosen Fakultas Pertanian UGM. Saat ini statusnya disewa[8]kan kepada pihak ketiga dan diduga kuat uang sewa mengalir ke yayasan.

Pantauan Koran Sindo Yogya, di samping pintu masuk areal lahan di Wonocatur itu terpasang papan nama bertuliskan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Fakultas Pertanian, Jurusan Budi Daya Pertanian, Laboratorium Lapangan. “Penyitaan[9] dilakukan dalam tahap pra-penuntutan[10] berkas perkara,” jelas Azwar. Dia juga menegaskan masih akan mendalami apakah ada lahan lain milik UGM yang dikuasai oleh yayasan dan disalahgunakan peruntukannya.

Sekadar informasi, Yayasan Fapertagama secara dasar hukum bukan di bawah naungan resmi UGM, melainkan hanya bentukan para dosen-dosen. Hal inilah yang menjadi salah satu bukti[11] kuat adanya tindak pidana korupsi atau penyimpangan penggunaan aset negara[12]. Sebelumnya, Kejati juga telah menyita dua bidang lahan seluas 3.188 dan 5.926 meter persegi yang berada di Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Sleman; sebidang lahan seluas 4.000 meter persegi di Plumbon, Banguntapan, Bantul; dan uang tunai hampir Rp2 miliar dari rekening yayasan sebagai barang bukti.

Kasus ini bermula pada kurun waktu tahun 2003-2007. Saat itu, Yayasan Fapertagama masih bernama Yayasan Pembina Fakultas Pertanian, menjual lahan seluas 4000 meter persegi di Plumbon kepada pengembang perumahan. Pada bukti jual-beli tertulis Rp1,2 miliar, tapi temuan penyidik menunjukkan tanah itu dijual seharga Rp2 miliar lebih. Uang hasil penjualan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan internal yayasan karena mereka mengklaim tanah di Plumbon adalah tanah milik yayasan dan bukan milik UGM.

Tersangka Susamto saat penjualan tanah menjabat sebagai ketua yayasan ex-officio Dekan Fakultas Pertanian UGM. Saat ini dia menjabat sebagai Ketua Majelis Guru Besar[13] UGM. Kemudian tersangka Triyanto saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan III Fakultas Pertanian Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia serta Toekidjo dan Ken Suratiyah, saat proses penjualan lahan merupakan pengurus yayasan. Kasi Penerangan Hukum Kejati DIY Purwantaa Sudarmaji mengungkapkan, tim penyidik berencana memasang papan penyitaan pada lahan di Wonocatur, Jumat (26/9/2014) ini. Namun hal itu urung dilaksanakan karena saksi dari pihak yayasan tidak hadir di lokasi.
“Pemasangan papan penyitaan ditunda besok Senin (29/9),” jelasnya.

Terpisah, Kepala Humas UGM Wiwit Wijayanti saat dikonfirmasi soal status kepemilikan lahan di Wonocatur mengaku tidak mengetahuinya secara pasti. Karena daftar aset milik universitas tersimpan pada bagian arsip.”Coba saya cek dulu ke bagian aset dan arsip,” ujarnya saat dihubungi wartawan melalui telepon. (zik)

 

Sumber: Seputar Indonesia, 27 September 2014

 

Catatan:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah menyatakan bahwa Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Pengelolaan BMN dilaksanakan berdasar asa fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Pengelolaan BMN tersebut meliputi:

  1. Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;
  2. pengadaan;
  3. Penggunaan;
  4. Pemanfaatan;
  5. pengamanan dan pemeliharaan;
  6. Penilaian;
  7. Pemindahtanganan;
  8. Pemusnahan;
  9. Penghapusan;
  10. Penatausahaan; dan
  11. pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

Pengelolaan BMN tersebut dilakukan oleh pejabat pengelola BMN yang diatur berdasarkan Bab II PP Nomor 27 Tahun 2014.

[1] Sangkaan, kemungkinan

[2] lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain.

[3] Yayasan Fakultas Pertanian Gajah Mada.

[4] Digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya.

[5] pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan

[6] seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

[7] Cara penguasaan lahan oleh satu pihak yang tanpa didasari akad jual beli/tukar menukar oleh kedua belah pihak sesuai ketentuan yang berlaku.

[8] pemakaian sesuatu dng membayar uang

[9] Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

[10] Wewenang yang dimiliki penuntut umum apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik

[11] sesuatu yg menyatakan kebenaran suatu peristiwa

[12] Menurut UU 17 Tahun 2003, Aset negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang atau barang yang dapat dijadikan sebagai milik negara.

[13] Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005, Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi