Manajemen Administrasi Aset Harus Diperbaiki

YOGYAKARTA– Manajemen pencatatan aset[1] Pemkot Yogyakarta harus terus diperbaiki jika ingin mengupayakan predikat hasil evaluasi laporan opini wajar tanpa pengecualian.

Hasil analisa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan DIY menunjukkan, saat ini masih ditemukan administrasi aset yang pencatatannya belum mendapatkan pembaharuan. “Ada aset yang belum diperbaharui, padahal sebenarnya sudah dihapuskan atau tidak digunakan,” kata Kepala BPK Perwakilan DIY Sunarto usia menyerahkan laporan hasil pemeriksaan[2] manajemen aset Pemkot Yogyakarta, kemarin.

Selain itu, Pemkot juga diminta untuk melakukan penelusuran terhadap aset-aset yang menjadi catatan dari BPK. Hal tersebut untuk mendapatkan kepastian kondisi aset, apakah sudah dihapuskan, dilelang, atau sudah tidak dimanfaatkan lagi.

Sejumlah aset yang menjadi catatan di antaranya keberadaan rumah pemotongan hewan[3] Khusus babi serta alat pengolah aspal atau AMP. Aset tersebut tercatat sudah beberapa tahun tidak pernah dimanfaatkan lagi.

Dari perhitungan BPK, untuk aset-aset yang harus mendapatkan penelusuran tersebut nilainya mencapai Rp3,6 miliar. “Nilainya cukup banyak, akumulasi sejak 1990-an hingga sekarang,” kata Suratno.

Wakil Wali Kota Yogyakarta Imam Priyono mengatakan, pihaknya akan langsung memenuhi rekomendasi penelusuran dari BPK Perwakilan DIY. Dari analisa sementara yang dilakukan, diakui pencatatan aset lama memang membutuhkan penelusuran lebih lanjut. “Pencatatan aset butuh perbaikan. Terutama untuk aset-aset lama, misalnya tahun 1980-an dan 1990-an,” kata Imam.

Imam menegaskan, di bawah kepemimpinan Wali Kota Haryadi Suyuti dan dirinya, Pemkot Yogyakarta tetap berupaya untuk mempertahankan opini wajar tanpa pengecualian. Keyakinan tersebut didukung keyakinan bahwa pencatatan aset yang dilakukan sudah baik.

Rasa optimis tersebut didukung fakta bahwa opini wajar tanpa pengecualian diraih selama empat tahun berturut-turut. “Jika manajemen asetnya tidak baik, tidak mungkin opini empat tahun berturut-turut,” tandasnya. (Mahadewa)

Sumber: Seputar Indonesia ,27 November 2013

 

Catatan:

Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, pengelola dan pengguna melaksanakan sensus barang milik dan atau yang dikuasai oleh Daerah setiap 5 (lima) tahun sekali untuk menyusun Buku Inventaris dan Buku Induk Inventaris beserta rekapitulasi barang milik Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan ayat (6) dan ayat (7) peraturan tersebut, pembantu pengelola, pengguna/kuasa pengguna menyampaikan hasil sensus kepada pengelola paling lambat 3 (tiga) bulan setelah selesainya sensus. Dan setelah itu pembantu pengelola menghimpun hasil invetarisasi sensus barang milik daerah.

Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) menerangkan bahwa pendaftaran, pencatatan dan pelaporan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 25, pasal 27 dan pasal 28 peraturan tersebut menggunakan aplikasi sistem informasi manajemen barang daerah (SIMBADA). Setiap SKPD/Unit Kerja harus menggunakan aplikasi sistem informasi manajemen barang daerah (SIMBADA).

 


[1] Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kerja Sama Daerah, aset merupakan sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh baik oleh pemerintah maupun masyarakat serta dapat diukur dalam satuan uang termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.

[2] Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, hasil pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan Standar Pemeriksaan, yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai keputusan BPK.

[3] Berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 22 Tahun 2009 tentang Retribusi Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Hewan Potong yang selanjutnya disingkat RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas.