BPK Hitung Kerugian Negara Transjogja

JOGJA- Ada perkembangan baru dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi[i] pengelolaan Transjogja. Setelah menyelidik beberapa waktu, Kejati DIJ saat ini sedang berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung nilai kerugian keuangan negara dalam pengelolaan Transjogja selama 2008-2010. “Tim verifikator[ii] dari BPK sedang bekerja,” ujar Kepala Kejati DIJ Suyadi, S.H. saat ditemui usai salat Jumat di kantornya kemarin (15/3).

Penghitungan yang dilakukan BPK itu merupakan kelanjutan dari proses penyidikan perkara Transjogja.

Sampai saat ini telah ada belasan saksi diperiksa. Setelah pemeriksaan itu, penyidik memandang perlu menghitung nilai kerugian keuangan negara dari pengelolaan Transjogja yang dilakukan Pemprov DIJ dengan operator[iii] PT Jogja Tugu Trans (JTT). Salah satu materi yang sedang dihitung itu adalah terkait Biaya Operasional Kendaraan (BOK)[iv] Transjogja Tahun Anggaran 2008 senilai Rp11 miliar.

Insyaallah kerugian keuangan negara sudah bisa diketahui dan penyidikan bisa segera rampung,” kata Suyadi.

Saat menghitung nilai kerugian keuangan negara, BPK tidak hanya berpegang pada data yang diperoleh tim penyidik. Tidak menutup kemungkinan, tim auditor juga akan memverifikasi ulang dengan mendatangi PT JTT. Verifikasi itu penting untuk memastikan besaran nilai keuangan negara. “Yang jelas unsur kerugian itu sudah ada tapi belum dihitung nilainya,” tambah Jaksa Tinggi yang pernah menjadi Wakajati Kalimantan Barat ini.

Menurut Suyadi, tim dari BPK akan bekerja selama enam hari. Diharapkan dalam waktu tersebut, proses penghitungan sudah dapat diselesaikan.

“Prinsipnya, lebih cepat lebih baik,” tandas Suyadi.

Sejak meningkatkan status penyidikan, Kejati telah menetapkan dua tersangka, yakni mantan Kadishubkominfo[v] DIJ Mulyadi Hadikusumo, dan mantan Dirut PT JTT Poerwanto Johan Riyadi. Mereka dinilai paling bertanggung jawab atas dugaan penyalahgunaan BOK senilai Rp11 miliar.

Baik Mulyadi maupun Poerwanto selama ini belum diperiksa sebagai tersangka. Keduanya baru diperiksa sebagai saksi secara silang. Mulyadi diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Poerwanto dan demikian pula sebaiknya Poerwanto menjadi saksi dengan tersangka Mulyadi. Setelah kerugian negara diketahui, penyidik berencana segera memeriksa keduanya.

Kepala Seksi Penuntutan pada Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DIJ M. Abeto Harahap, S.H., M.H. menyatakan bila dalam masa enam hari penghitungan itu belum rampung, ada kemungkinan akan diperpanjang. Saat ini penghitungan telah berjalan tiga hari sejak Rabu (13/3) lalu. “Kita lihat saja nanti perkembangannya,” tandas Abeto yang menjadi salah satu penyidik dalam perkara tersebut.

Selain Abeto, terlihat pula dalam koordinasi dengan tim BPK itu Kepala Seksi Penyidikan pada Aspidsus Kejati DIJ Dadang Darussalam, S.H., M.H. dan beberapa jaksa penyidik lainnya. Koordinasi diadakan secara maraton sejak pagi hingga sore hari. (mar/kus)

 

Sumber: Radar Jogja, 16 Maret 2013

 

Catatan:

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan bahwa “BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.”

Tugas BPK sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Wewenang BPK sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan adalah:

    1. Menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
    2. Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
    3. Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
      1. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
      2. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
      3. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
    4. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.

 

Berdasarkan Petunjuk Teknis Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Tahun 2008 tentang Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah, penghitungan kerugian negara/daerah adalah pemeriksaan investigatif yang dilakukan untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah.

Penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan berdasarkan permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah atas suatu kasus tindak pidana yang sedang diproses secara hukum. Kerugian negara/daerah yang dihitung melalui pemeriksaan investigatif berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang, antara lain dapat berupa:

    1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah dalam bentuk uang atau barang yang seharusnya tidak dikeluarkan.
    2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah yang, menurut kriteria yang berlaku, lebih besar dari seharusnya.
    3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima termasuk di antaranya penerimaan uang palsu atau barang fiktif.
    4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima, termasuk di antaranya penerimaan barang rusak atau yang kualitasnya tidak sesuai.
    5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada.
    6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari seharusnya.
    7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan yang berlaku.
    8. Penerimaan hak negara/daerah yang lebih kecil dari yang seharusnya.

 
Tujuan perhitungan kerugian negara/daerah berdasarkan Petunjuk Teknis tersebut adalah untuk menentukan ada atau tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah, termasuk di dalamnya menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang.

 


 

[i] Korupsi berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi), yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
 
[ii] Verifikator: petugas yg memeriksa kebenaran sesuatu (laporan dsb); pemeriksa buku keuangan.

[iii] Operator: orang yg bertugas menjaga, melayani, dan menjalankan suatu peralatan, mesin, telepon, radio, dsb.

[iv] Biaya Operasional Kendaraan (BOK): biaya yang secara ekonomi terjadi dengan dioperasikannya satu kendaraan pada kondisi normal untuk satu tujuan. Komponen‐komponen biaya yang diperhitungkan adalah sebagai berikut :

  1. Biaya tetap (fixed cost).
  2. Biaya tidak tetap (variable cost).
  3. Biaya lainnya (overhead).
 
[v] Kadishubkominfo: Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika.